Pengertian Mudik dan Lebaran Pulang Kampung atau biasa disebut dengan mudik, merupakan salah satu tradisi atau kebiasaan menjelang Lebaran. Lebaran sendiri merupakan kata lain dari Hari Raya Idul Fitri yang merupakan Hari Raya umat yang beragama Islam, dimana umat muslim sudah menjalankan sebulan penuh puasa melawan hawa nafsu dan marah maka Lebaran pun menjadi hari dimana umat muslim merayakan kemenangan melawan dirinya sendiri dengan pengendalian dirinya.
Mudik membuat sebagian besar masyarakat yang mencari nafkah di kota-kota besar seperti Jakarta, akan bergegas untuk kembali ke kampung halamannya ketika bulan Ramadhan akan berakhir dan Hari Raya Idul Fitri pun menjelang.
Alasan dan Persiapan Ketika Bermudik
Mudik pun digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai wadah yang tepat untuk bertemu sanak saudara yang sudah lama tidak berjumpa, karena alasan masing-masing, seperti merantau misalnya. Selain sebagai wadah untuk bertemu sanak saudara, hal utama dari mudik di kala Lebaran tentu saja untuk meminta maaf dan memaafkan satu sama lain, terutama keluarga dan handai tolan yang berada di kampung halaman.
Biasanya ketika H-14, siaran berita-berita di TV akan memberitakan informasi mengenai persiapan masyrakat Indonesia yang bersiap untuk bermudik, seperti penjualan tiket kendaraan melalui jalur darat, laut, dan udara, ataupun persiapan mental dan fisik bagi masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi untuk mudik ke kampung halamannya.
Membeli tiket kendaraan melelui jalur darat, laut, dan udara pun bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan ketika menjelang Hari Raya Lebaran, karena banyaknya masyarakat Indonesia yang bermudik dan memilih menggunakan kereta, kapal, dan pesawat, tentu saja kemungkinan besar untuk kehabisan tiket bisa saja terjadi. Oleh karena itu, masyrakat harus memesan tiket ke kampung halamannya dari jauh-jauh hari bahkan berbulan-bulan yang lalu supaya tidak kehabisan tiket.
Mudik=Liburan?
Walaupun saya sendiri non-muslim dan tidak pulang ke kampung halaman saya, saya juga ikut memperhatikan tradisi mudik yang telah mendarah daging di masyarakat Indonesia. Bahkan mungkin tradisi tersebut akan sulit untuk dihilangkan bahkan mungkin tidak akan pernah bisa hilang, karena mudik akan terjadi setahun minimal sekali di Indonesia.
Bagi saya dan mungkin kalangan muslim dan non-muslim lainnya, tradisi mudik juga dapat dijadikan sebagai acara berlibur panjang, karena waktu libur yang disediakan pemerintah cukup panjang untuk dapat digunakan berlibur baik pulang ke kampung halaman ataupun hanya sekedar untuk jalan-jalan saja.
Mudik, Saya, dan Jakarta yang Sepi
Ketika sebagian besar penduduk Jakarta mudik ke kampung halaman masing-masing, saya justru pergi ke mal-mal dan tempat-tempat rekreasi di Jakarta yang terkenal dengan keramaiannya. Namun seperti terbalik 180 derajat, mal-mal atau pun tempat rekreasi yang biasa saya kunjung yang seharusnya sesak oleh masyarakat ibukota yang berbelanja untuk menghabiskan uangnya, terlihat bukan seperti mal mungkin bahkan lebih mirip kuburan. Sepi, itu yang saya rasakan.Bukan hanya satu atau dua mal saja yang sepi melainkan sebagian besar mal-mal dan tempat rekreasi di Jakarta kosong melompong.
Tentu saja bukan hanya mal dan tempat rekreasi yang terlihat sepi ketika masyarakat Jakarta mengungsi untuk mudik, hal yang sama pun terjadi pada jalan-jalan di Ibukota yang biasanya sesak dan macet oleh beraneka ragam kendaraan yang memenuhi jalanan karena kendaraannya jauh lebih banyak daripada jalanannya, kini menjadi sepi dan kosong seolah-olah sayalah pemilik jalanan tersebut. Apakah ini berarti dapat dikatakan bahwa ketika para penghuninya mengungsi, Jakarta pun rehat sejenak? Betapa bagusnya bukan jika Jakarta seperti itu, paling tidak bisa mengurangi masalah-masalah di Jakarta, seperti kemacetan misalnya. Walaupun nantinya akan timbul masalah lain lagi, contohnya produktivitas kerja yang berkurang akibat berkurangnya tenaga kerja di Jakarta.
Tak Semua Jakarta Tertidur
Jika ditinjau dari apa yang saya temukan sebelumnya dengan mengatakan bahwa Jakarta sepi, ternyata tidak semua wilayah di Jakarta yang kosong seperti itu. Ketika saya pergi ke pantai Ancol yang biasa digunakan para photographer untuk menjadikan pantai sebagai objek foto dan para muda-mudi berpacaran karena angin pantai yang sejuk, tetap saja ramai dan tidak berubah.
Bahkan restoran-restoran yang mengelilingi pantai Ancol, seperti Bandar Jakarta yang biasanya ramai dengan orang-orang kaya yang menghabiskan uang mereka ratusan ribu bahkan jutaan hanya untuk makanan, tetap saja ramai. Namun restoran-restoran tersebut lebih didominasi oleh kaum Chines. Ya, setidaknya sebagian besar wilayah Jakarta kosong kan?
Bandung yang Macet
Di hari kedua Lebaran, saya bersama keluarga berangkat pagi-pagi melalui jalur darat dengan menggunakan kendaraan pribadi menuju Ibukota Jawa Barat, Bandung. Kedatangan saya bersama keluarga saya ke Bandung adalah untuk berlibur. Namun selain itu, alasan kami ke Bandung juga dikarenakan adik saya yang belum pernah ke Bandung karena masa kecilnya dihabiskan di Bali.
Walaupun saya dan keluarga saya tidak terlalu luwes dengan jalanan Bandung, saya bersama keluarga saya tetap menekadkan diri untuk menjelajahi Bandung dengan bantuan sistem navigasi atau sering disebut dengan GPS. Sepanjang jalanan menuju Bandung dari Jakarta teramat lancar karena kosongnya Jakarta.Namun, tidak begitu di pintu masuk tol keluar Jakarta, jalan layang yang sempit disesaki oleh kendaraan yang ingin menuju Bandung. Baiknya, hal itu hanya sementara karena perjalanan selanjutnya ketika sudah melewati pintu tol, lumayan lancar.
Sepanjang perjalanan yang lumayan lancar tersebut, agak sedikit mengecewakan ketika kami ingin rehat sejenak di suatu tempat peristirahatan untuk makan dan pergi ke toilet, karena tempat tersebut sangat ramai baik tempat makan ataupun toiletnya. Sehingga untuk makan atau pun buang air membutuhkan waktu yang lama untuk mengantri.
Akhirnya perjalanan menuju Bandung yang membutuhkan waktu tiga jam perjalanan, membawa kami sampai juga di kota Bandung. Seperti yang diperkirakan sebelumnya bahwa Bandung akan disesaki oleh para pendatang dari luar kota seperti biasanya dan ditambah lagi oleh datangnya para penduduk asli yang kembali ke kampung halamannya di Bandung dan sekitarnya.
Parahnya lagi ketika kami ingin makan siang di Kampung Daun, Lembang, hanya ada satu kata, macet. Bandung pun berubah menggantikan ibukota Jakarta yang macet total. Dari daerah Sukajadi sampai dengan jalan Dr. Setia Budi yang biasanya menghabiskan waktu 30 menit saja dengan kemacetan normal, saat itu perlu menghabiskan dua jam perjalanan. Pada akhirnya kami baru sampai di Kampung Daun, Lembang sekitar jam 14.00 W.I.B.
Setelah makan siang dijelang dan stres karena macet terobati oleh indahnya Kampung Daun, kami pun beranjak pergi mencari hotel. Karena ayah saya ingin menunjukkan kawah Tangkuban Perahu pada adik saya maka kami pun bergegas semakin ke atas untuk mencari hotel yang dekat dengan Tangkuban Perahu. Namun sangat disayangkan, karena kami belum memesan tempat untuk menginap terlebih dulu, hotel-hotel tersebut pun penuh dengan para pengunjung. Belum lagi kemacetan yang masih terjadi menuju Lembang atas, membuat kami semakin lelah. Kami pun baru sampai di hotel tepatnya di Grand Hotel Lembang pukul 18.30 W.I.B, setelah melewati kemacetan yang parah dan berputar-putar mencari hotel. Dapat dibayangkan kan seberapa macet dan sesaknya Bandung oleh para pemudik dan pendatang?
Lebaran=Liburan yang Menyenangkan
Walaupun begitu, libur lebaran kali ini sangat menyenangkan bagi saya. Setidaknya dengan adanya mudik Lebaran, Jakarta dan Bandung dapat bertukar posisi untuk sementara ,bukan? Jakarta yang sesak menjadi kosong dan Bandung yang sejuk berganti panas dan sesak.